Langsung ke konten utama

Unggulan

Tahun Lepas, Laut Berakhir

Aku ingin membebaskanmu, serupa melepaskan tahun dari penjara waktu, menjadikan tanggal dan bulan tak berarti, sehingga tahun bebas menentukan akhirnya sendiri, Aku ingin membebaskanmu, telah ku katakan juga pada laut, berakhirlah semua batas dalam peta, dan kau bebas mengarunginya suka-suka, Aku ingin membebaskanmu, Aku akan membebaskanmu, Aku akan melepaskan tahun dan mengakhiri laut untukmu.

Wawancara Jarak Jauh dengan Mahameru: Barangkali Mahameru pun Butuh Didengarkan

Mahameru adalah tempat tertinggi di pulau Jawa. Tempat yang merupakan puncak dari sebuah gunung bernama Semeru dengan akar yang menancap di dua wilayah administratif sekaligus, Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Malang. Berada tepat di ketinggian 3.676 meter di atas permukaan laut (mdpl), membuat saya kesulitan mendatanginya secara langsung untuk melakukan wawancara. Terlebih dengan letak tinggal saya yang terpisah ratusan kilometer jauhnya, setidaknya saya harus meluangkan waktu selama lebih dari seminggu untuk menghampirinya, dan itu terasa akan melelahkan.

Apalagi saat ini rute menuju Mahameru masih belum dibuka sampai waktu yang belum ditentukan, mendatanginya secara langsung bukanlah hal yang dianjurkan tentunya. Mahameru masih menutup dirinya, akan sangat lama jika harus menunggunya bisa dihampiri. Sembari menunggunya hingga bisa dihampiri kembali, saya pun mencoba mewawancarainya dari jarak jauh secara virtual. Beruntung Mahameru berbaik hati untuk mau meluangkan waktu kesendiriannya.

Wawancara ini sekadar mencoba menjadi penghangat, barangkali Mahameru selama ini kesepian tak memiliki tempat untuk berkeluh kesah, barangkali lava dan belerang yang dikeluarkannya adalah unek-unek yang mengendap dan tak pernah terceritakan, barangkali Mahameru butuh didengarkan.

Baiklah, mari kita mulai, sedari tadi Mahameru telah menunggu di ruang zoom, tak enak juga membuatnya yang telah berbaik hati ini harus menunggu..

 

Tabik Mahameru, maaf membuat anda menunggu.

Ah tak apa, sudah menjadi bakat saya untuk menunggu, lagi pula saya tak akan kemana-mana, jadi santai aja, aman.

Oh oke, syukurlah. Lama saya tak mendengar kabar dari anda, apa kabar Bung?

Alhamdulillah saya baik, meski sedang agak radang dan batuk-batuk kecil, namun semua masih bisa terkendali, saya hanya membutuhkan jeda saja.

Bung, setidaknya sudah 3 tahun anda menutup diri, akan sampai kapan?

Entahlah, bagi saya 3 tahun adalah waktu yang sangat singkat. Sudah selama berabad-abad waktu saya membuka diri, menyapa setiap orang yang datang menginjakan kakinya disini. Selama itu pula tak banyak yang bisa saya ingat. Lagi pula, dengan dan atau tanpa adanya orang yang datang, kondisinya tak jauh berbeda juga, saya masih tetap tak bisa mendapatkan teman bercerita meski ribuan orang datang. Mereka datang hanya untuk singgah beberapa saat, berbahagia, mengambil gambar dirinya bersama awan, lalu kembali pergi.

Maksud saya, di antara ribuan atau mungkin jutaan orang yang pernah datang, mengapa tak ada satu pun yang bisa menjadi tempat saya bercerita, mengapa hanya mereka saja yang boleh bercerita pada saya. Rasanya tak adil bukan? Padahal tentu saya pun memiliki keluh kesah untuk diceritakan.

Anda terasa sedang sangat emosional Bung

Ah iya, maaf-maaf, saya tak punya tempat untuk bercerita, jadi begitu ada kesempatan, saya hanya  mencoba langsung mengeluarkan apa yang saya rasakan.

Tak apa, saya mendengarkan dengan sungguh. Jadi, apakah anda sedang merasa membutuhkan teman untuk bercerita?

tentu, sejak lama saya merasa membutuhkannya. mereka yang datang, tak pernah membagi giliran untuk saya bercerita.

Tapi Bung, bukan kah berbahaya jika berdiam berlama-lama dengan anda?

Ya saya menyadarinya kok, sepertinya memang takdir bagi saya untuk hidup tanpa bercerita, hidup dengan kesendirian.

Maaf jika menyinggung Bung, tak ada maksud.

Tak apa, saya hanya terkadang lupa jika sedari muncul di muka bumi, saya memang hanya sendirian. Seharusnya saya menyadari itu sejak awal, sehingga kelak saya tak perlu merasa lagi membutuhkan seseorang untuk bercerita. Saya harus mulai menyadari dan membiasakannya kembali.

Keramaian yang datang tanpa henti dalam beberapa dekade terakhir membuat saya betul-betul kebingungan perihal mengenali diri sendiri. Apakah saya sebenarnya ditakdirkan hidup bersama keramaian atau justru kesunyian.

Namun jika dibandingkan, anda lebih menyukai yang mana bung, keramaian atau kesunyian?

Nah itu dia masalahnya, saya tak memiliki waktu yang cukup untuk membandingkan keduanya. Saya telah terbiasa dengan keramaian, sehingga saya kerap lupa pada rasa sunyi. Saya juga tak mengetahui apakah selama ini saya menyukai keramaian atau hanya sedang terbiasa dengannya. Toh pada sunyi pun saya begitu, entah saya tak menyukainya atau hanya sekedar terbiasa tanpa kehadirannya.

Lantas dalam kesendirian saat ini, apa yang akan anda lakukan Bung?

Mencoba untuk sembuh tentunya. Selain itu, mungkin sekarang juga adalah waktu yang tepat untuk saya bercermin, entah dari pantulan permukaan air Ranu Kumbolo atau permukaan langit biru yang luas, mencoba mencari tau lagi siapa diri saya, berkenalan kembali dengan diri sendiri yang mungkin untuk beberapa waktu kebelakang sering saya lupakan.

Banyak orang merindukanmu Bung.

Ya, begitupun saya, saya juga merindukan diri saya sendiri. Ada banyak pilihan lain bagi orang-orang itu selain saya, sedang saya tak memiliki pilihan lain, saya hanya memiliki diri sendiri. Maka, izinkanlah saya menemukan kembali diri saya terlebih dahulu, kalian bisa berkunjung ke tempat cantik lainnya yang ada di luar sana.

Tetapi anda berbeda Bung, anda adalah atap tertinggi Pulau Jawa.

Ah sama saja, saya sama dengan gunung atau bahkan tempat-tempat lain di luar sana. Sama-sama ada di bumi, sama-sama dikunjungi, sama-sama dijadikan industri komersil, sama-sama ditumpuki sampah dan sama-sama tak memiliki kuasa atas diri sendiri untuk beberapa hal. Lantas apa yang membedakan saya dengan yang lainnya?

Perihal sematan ‘tertinggi’ atau ‘atap’ atau sematan serupa lainnya, saya sebenarnya selalu takut mendapatkan sematan semacam itu. Selain takut akan ekspektasi yang kelak datang dan harus saya penuhi terus menerus, saya juga takut kalau kelak sematan itu justru malah membuat saya jadi gunung yang angkuh. Merasa diri lebih tinggi dari yang lain, merasa lebih keren, merasa superior dibanding tempat lainnya. Perasaan itu menghantui saya terus menerus.

Untuk sebuah tempat tertinggi di suatu pulau, rasanya anda memang layak untuk jadi angkuh kok Bung

Mana ada, saya itu gak bisa kemana-mana, gak bisa bergerak jauh, apa yang mau diangkuhin dari itu. Lagi pula, setidaknya menurut si proklamator, saya bahkan bisa dicabut hingga akar-akarnya hanya oleh kakek-kakek sekelurahan, coba kurang cemen apalagi saya ini.

Haha benar juga. Untuk orang-orang yang masih mengharapkan bisa bertemu dengan anda, apakah ada tanggapan?

Nanti, pada waktu yang tepat, kita juga akan berjumpa kembali. Hidup sembari menunggu akan jauh lebih baik dibanding kita bertemu tapi mati. Toh tak bersama saya bukan berarti semua manusia di muka bumi ini langsung mati juga kan. Matahari masih terbit, langit masih cerah, hidup juga masih bisa berjalan normal.

Tapi anda akan sehat kembali kan Bung?

Untuk yang satu ini saya tak bisa bocorkan, karena saya pun tak tau jawabannya. Namun, semoga saja semuanya dapat terus aman terkendali. Kalau pun tak sehat, setidak-tidaknya semoga saya tak merepotkan saja.

Baiklah, terakhir Bung, mungkin adakah pesan atau harapan yang ingin disampaikan?

Hmm apa ya. Mungkin mau ngucapin terima kasih aja buat masnya yang udah mau mendengarkan saya berkeluh kesah, ini menjadi tempat pelepasan unek-unek yang baik untuk saya tentunya. Terima kasih juga untuk yang kelak membaca hasil wawancara ini, terima kasih telah mau meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini dibandingkan dengan membaca Al-quran.

Oh iya, mungkin ada pesan juga sedikit; semoga kita senantiasa bersabar untuk segala hal yang sedang terjadi.

 

 

 


Komentar