Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Wawancara Jarak Jauh dengan Mahameru: Barangkali Mahameru pun Butuh Didengarkan
Mahameru adalah tempat tertinggi di
pulau Jawa. Tempat yang merupakan puncak dari sebuah gunung bernama Semeru
dengan akar yang menancap di dua wilayah administratif sekaligus, Kabupaten
Lumajang dan Kabupaten Malang. Berada tepat di ketinggian 3.676 meter di atas
permukaan laut (mdpl), membuat saya kesulitan mendatanginya secara langsung
untuk melakukan wawancara. Terlebih dengan letak tinggal saya yang terpisah
ratusan kilometer jauhnya, setidaknya saya harus meluangkan waktu selama lebih
dari seminggu untuk menghampirinya, dan itu terasa akan melelahkan.
Apalagi saat ini rute
menuju Mahameru masih belum dibuka sampai waktu yang belum ditentukan,
mendatanginya secara langsung bukanlah hal yang dianjurkan tentunya. Mahameru
masih menutup dirinya, akan sangat lama jika harus menunggunya bisa dihampiri.
Sembari menunggunya hingga bisa dihampiri kembali, saya pun mencoba
mewawancarainya dari jarak jauh secara virtual. Beruntung Mahameru berbaik hati
untuk mau meluangkan waktu kesendiriannya.
Wawancara ini sekadar
mencoba menjadi penghangat, barangkali Mahameru selama ini kesepian tak
memiliki tempat untuk berkeluh kesah, barangkali lava dan belerang yang
dikeluarkannya adalah unek-unek yang mengendap dan tak pernah terceritakan,
barangkali Mahameru butuh didengarkan.
Baiklah, mari kita mulai,
sedari tadi Mahameru telah menunggu di ruang zoom, tak enak juga membuatnya
yang telah berbaik hati ini harus menunggu..
Tabik
Mahameru, maaf membuat anda menunggu.
Ah tak apa, sudah menjadi
bakat saya untuk menunggu, lagi pula saya tak akan kemana-mana, jadi santai
aja, aman.
Oh oke,
syukurlah. Lama saya tak mendengar kabar dari anda, apa kabar Bung?
Alhamdulillah saya baik,
meski sedang agak radang dan batuk-batuk kecil, namun semua masih bisa
terkendali, saya hanya membutuhkan jeda saja.
Bung,
setidaknya sudah 3 tahun anda menutup diri, akan sampai kapan?
Entahlah, bagi saya 3
tahun adalah waktu yang sangat singkat. Sudah selama berabad-abad waktu saya
membuka diri, menyapa setiap orang yang datang menginjakan kakinya disini.
Selama itu pula tak banyak yang bisa saya ingat. Lagi pula, dengan dan atau
tanpa adanya orang yang datang, kondisinya tak jauh berbeda juga, saya masih
tetap tak bisa mendapatkan teman bercerita meski ribuan orang datang. Mereka
datang hanya untuk singgah beberapa saat, berbahagia, mengambil gambar dirinya
bersama awan, lalu kembali pergi.
Maksud saya, di antara
ribuan atau mungkin jutaan orang yang pernah datang, mengapa tak ada satu pun
yang bisa menjadi tempat saya bercerita, mengapa hanya mereka saja yang boleh
bercerita pada saya. Rasanya tak adil bukan? Padahal tentu saya pun memiliki
keluh kesah untuk diceritakan.
Anda
terasa sedang sangat emosional Bung
Ah iya, maaf-maaf, saya
tak punya tempat untuk bercerita, jadi begitu ada kesempatan, saya hanya
mencoba langsung mengeluarkan apa yang saya rasakan.
Tak apa,
saya mendengarkan dengan sungguh. Jadi, apakah anda sedang merasa membutuhkan
teman untuk bercerita?
tentu, sejak lama saya
merasa membutuhkannya. mereka yang datang, tak pernah membagi giliran untuk
saya bercerita.
Tapi
Bung, bukan kah berbahaya jika berdiam berlama-lama dengan anda?
Ya saya menyadarinya kok,
sepertinya memang takdir bagi saya untuk hidup tanpa bercerita, hidup dengan
kesendirian.
Maaf
jika menyinggung Bung, tak ada maksud.
Tak apa, saya hanya
terkadang lupa jika sedari muncul di muka bumi, saya memang hanya sendirian.
Seharusnya saya menyadari itu sejak awal, sehingga kelak saya tak perlu merasa
lagi membutuhkan seseorang untuk bercerita. Saya harus mulai menyadari dan membiasakannya
kembali.
Keramaian yang datang
tanpa henti dalam beberapa dekade terakhir membuat saya betul-betul kebingungan
perihal mengenali diri sendiri. Apakah saya sebenarnya ditakdirkan hidup
bersama keramaian atau justru kesunyian.
Namun
jika dibandingkan, anda lebih menyukai yang mana bung, keramaian atau
kesunyian?
Nah itu dia masalahnya,
saya tak memiliki waktu yang cukup untuk membandingkan keduanya. Saya telah
terbiasa dengan keramaian, sehingga saya kerap lupa pada rasa sunyi. Saya juga
tak mengetahui apakah selama ini saya menyukai keramaian atau hanya sedang terbiasa
dengannya. Toh pada sunyi pun saya begitu, entah saya tak menyukainya atau
hanya sekedar terbiasa tanpa kehadirannya.
Lantas
dalam kesendirian saat ini, apa yang akan anda lakukan Bung?
Mencoba untuk sembuh
tentunya. Selain itu, mungkin sekarang juga adalah waktu yang tepat untuk saya
bercermin, entah dari pantulan permukaan air Ranu Kumbolo atau permukaan langit
biru yang luas, mencoba mencari tau lagi siapa diri saya, berkenalan kembali
dengan diri sendiri yang mungkin untuk beberapa waktu kebelakang sering saya
lupakan.
Banyak
orang merindukanmu Bung.
Ya, begitupun saya, saya
juga merindukan diri saya sendiri. Ada banyak pilihan lain bagi orang-orang itu
selain saya, sedang saya tak memiliki pilihan lain, saya hanya memiliki diri
sendiri. Maka, izinkanlah saya menemukan kembali diri saya terlebih dahulu,
kalian bisa berkunjung ke tempat cantik lainnya yang ada di luar sana.
Tetapi
anda berbeda Bung, anda adalah atap tertinggi Pulau Jawa.
Ah sama saja, saya sama
dengan gunung atau bahkan tempat-tempat lain di luar sana. Sama-sama ada di
bumi, sama-sama dikunjungi, sama-sama dijadikan industri komersil, sama-sama
ditumpuki sampah dan sama-sama tak memiliki kuasa atas diri sendiri untuk beberapa
hal. Lantas apa yang membedakan saya dengan yang lainnya?
Perihal sematan
‘tertinggi’ atau ‘atap’ atau sematan serupa lainnya, saya sebenarnya selalu
takut mendapatkan sematan semacam itu. Selain takut akan ekspektasi yang kelak
datang dan harus saya penuhi terus menerus, saya juga takut kalau kelak sematan
itu justru malah membuat saya jadi gunung yang angkuh. Merasa diri lebih tinggi
dari yang lain, merasa lebih keren, merasa superior dibanding tempat lainnya.
Perasaan itu menghantui saya terus menerus.
Untuk
sebuah tempat tertinggi di suatu pulau, rasanya anda memang layak untuk jadi
angkuh kok Bung
Mana ada, saya itu gak
bisa kemana-mana, gak bisa bergerak jauh, apa yang mau diangkuhin dari itu.
Lagi pula, setidaknya menurut si proklamator, saya bahkan bisa dicabut hingga
akar-akarnya hanya oleh kakek-kakek sekelurahan, coba kurang cemen apalagi saya
ini.
Haha
benar juga. Untuk orang-orang yang masih mengharapkan bisa bertemu dengan anda,
apakah ada tanggapan?
Nanti, pada waktu yang
tepat, kita juga akan berjumpa kembali. Hidup sembari menunggu akan jauh lebih
baik dibanding kita bertemu tapi mati. Toh tak bersama saya bukan berarti semua
manusia di muka bumi ini langsung mati juga kan. Matahari masih terbit, langit
masih cerah, hidup juga masih bisa berjalan normal.
Tapi
anda akan sehat kembali kan Bung?
Untuk yang satu ini saya tak
bisa bocorkan, karena saya pun tak tau jawabannya. Namun, semoga saja semuanya dapat
terus aman terkendali. Kalau pun tak sehat, setidak-tidaknya semoga saya tak
merepotkan saja.
Baiklah,
terakhir Bung, mungkin adakah pesan atau harapan yang ingin disampaikan?
Hmm apa ya. Mungkin mau
ngucapin terima kasih aja buat masnya yang udah mau mendengarkan saya berkeluh
kesah, ini menjadi tempat pelepasan unek-unek yang baik untuk saya tentunya.
Terima kasih juga untuk yang kelak membaca hasil wawancara ini, terima kasih
telah mau meluangkan waktunya untuk membaca tulisan ini dibandingkan dengan
membaca Al-quran.
Oh iya, mungkin ada pesan
juga sedikit; semoga kita senantiasa bersabar untuk segala hal yang sedang
terjadi.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar